sejarah rekayasa







“Sejarah Gerakan 30 September 1965 merupakan sejarah rekayasa. Politisasi sejarah oleh mereka yang ingin melakukan kudeta kekuasaan meski dengan darah serta melukai kemanusiaan. Partai Komunis Indonesia (PKI), tokoh, kader, simpatisan dituduh sebagai dalang penculikan dan pembunuhan enam jenderal.



Walhasil, stigmatisasi terhadap PKI berhasil. Hal-hal berbau PKI wajib dibumihanguskan dari negeri ini. Sejarawan Asvi Warman Adam, mengatakan 500.000 orang yang dicap sebagai PKI dibantai oleh saudara sendiri. Tak terhitung kerugian materi hingga trauma berkepanjangan saudara kita yang (sengaja) di-PKI-kan.



Tragedi berdarah itu menjadi sejarah kelam bagi bangsa ini. Manusia dibunuh tanpa rasa kemanusian dan keadilan. Dituduh PKI, diculik/ditangkap, diperkosa, dan bahkan dibunuh dengan keji dan biadab—adalah trauma masa lalu yang sukar dilupakan dalam bayang ingatan. Memori kelabu yang masih membekas dan mengusik pikiran”

Seperti yang disebutkan juga dari "Menguak Tabir Peristiwa 01 Oktober 1965 Mencari Keadilan" himpunan Chynta Wirantaprawira menyebutkan 






Tragedi 30 September telah terjadi 40 tahun yang lalu. Banyak fakta objektif yang 
bersifat mutlak dan tidak bisa dipungkiri; antara lain keterlibatan PKI; ambiguitas 
Soekarno; intrik dalam tubuh militer (khususnya AD); serta kedekatan hubungan 
personal antara pelaku utama G 30 S dengan Mayjen Soeharto, Pangkostrad/ 
Pangkopkamtib. 
G 30 S juga tidak dapat diabaikan begitu saja, mengingat bahwa peristiwa tersebut 
menjadi triggering factor bagi operasi paling efektif pembasmian suatu ideologi di 
sebuah negara. Stigmatisasi yang diterapkan Soeharto terhadap mereka yang tidak 
terlibat langsung dengan komunisme -- misalnya melarang anak-anak eks tapol 
untuk menjadi pegawai negeri -- juga merupakan cara yang efektif untuk menutup 
kemungkinan bangkitnya komunisme di negeri ini. 
Telah banyak penelitian, kajian ataupun literatur yang mengkaji collapse-nya 
komunisme di Indonesia, baik yang ditulis oleh pakar dari luar negeri maupun dalam 
negeri. Berbagai versi tentang G 30 S pun muncul. Setidaknya, ada enam teori yang 
ada dalam penulisan mengenai peristiwa tersebut, masing-masing adalah sebagai 
berikut : 

a. Pelaku Utama G 30 S adalah PKI dan Biro Khusus 
Dengan memperalat unsur ABRI, tokoh-tokoh Biro Khusus PKI merencanakan 
putsch ini sejak lama. Tujuannya untuk merebut kekuasaan dan menciptakan 
masyarakat komunis di Indonesia. Tentu saja, pemerintah Orba adalah pihak yang 
pertama kali menyetujui teori pertama ini. Buku Putih Pengkhianatan G 30 S/PKI 
yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara (1994) merupakan penjelasan secara 
lengkap atas peristiwa paling tragis itu. Sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismail 
Saleh adalah penulis domestik pertama yang menulis versi ini, bukunya berjudul 
Percobaan Kup Gerakan 30 September di Indonesia, terbitan Jakarta, 1968. Penulis 
luar negeri yang dikategorikan masuk dalam versi ini adalah Arnold Brackman, 
penulis buku The Communist Collapse in Indonesia, terbitan New York tahun 1969. 


b. G 30 S adalah Persoalan Internal AD 
Versi kedua beranggapan bahwa G 30 S adalah persoalan internal AD yang 
didalangi sebuah kelompok terbatas. Persiapan gerakan dilakukan secara teliti oleh 
kelompok tersebut, dengan cara menyusupi PKI. Versi kedua ini ditulis oleh MR. 


Siregar (Tragedi Manusia dan Kemanusiaan, Kasus Indonesia: Sebuah Holokaus 
yang Diterima sesudah Perang Dunia Kedua - terbit pertama kali tahun 1993 di 
Amsterdam). The 30 September Movement karya Coen Holtsappel juga termasuk 
dalam versi kedua ini. Demikian pula Cornell Paper (A Preliminary Analysis of the 
October 1, 1965: Coup in Indonesia) karya Ben Anderson dkk, yang diterbitkan di 
Ithaca, 1971. Whose Plot ? New Light on the 1965 Events karya WF. Wertheim juga 
mengacu pada versi yang memojokkan ABRI, khususnya Angkatan Darat ini. Buku 
karya Wimandjaja K. Litohoe, Primadosa, juga mengarah pada sintesis bahwa G 30 
S merupakan kudeta yang dirancang oleh sekelompok orang AD dibawah pimpinan 
Soeharto. 
Penyusunan Mozaik ... 
Bisa dikatakan bahwa tahun 1965 merupakan puncak krisis politik di Indonesia. 
Tahun ini diawali dengan hancurnya BPS (Barisan Pendukung Soekarno) sebuah 
barisan yang sebetulnya bercorak oposisi terhadap Soekarno tetapi menggunakan 
kamuflase politik .. (salah satu anggota BPS yang sampai sekarang masih hidup 
adalah Ibu Sudjinah, beliau pernah ditahan lama sekali oleh rezim Orde Baru, 
sekarang beliau mengajar bahasa Inggris private dan juga sedang mempersiapkan 
memoarnya untuk diterbitkan). 
Keputusan Presiden Soekarno untuk keluar dari PBB juga merupakan salah satu 
pemicu dari keributan-keributan yang kemudian terjadi di tahun 1965. Dengan 
keluarnya Indonesia dari PBB, otomatis perselisihan antara Soekarno dan "Nekolim" 
semakin meruncing tajam. Keluarnya RI dari PBB menyebabkan timbulnya spekulasi 
bahwa kita akan semakin dekat dengan "Kawan di Utara" yang dalam hal ini adalah 
RRT. Bahkan terdengar sas-sus bahwa kemungkinan Indonesia akan mendapat 
senjata nuklir dari pemerintah RRT yang pada masa itu dipimpin oleh PM Chou En 
Lai. 
Situasi Indonesia sangatlah buruk, dengan turunnya ekspor dan besarnya pinjaman 
untuk keperluan tentara, mendongkrak utang luar negeri jadi US$ 2,4 miliar. Tapi 
yang paling berpengaruh terhadap gejolak politik dalam negeri kondisi kesehatan 
Bung Karno. Ia menolak anjuran tim dokter dari Wina, Austria, agar penyakit 
ginjalnya dioperasi. Keengganannya itu disebabkan nasihat seorang dukun yang 
meramalkan bahwa ia akan mati oleh pisau!. Kemudian ia berkonsultasi dengan para 
dokter-dokter dari Cina dan memilih cara pengobatan secara akunpunktur. Sempat 
dalam salah satu pidatonya di bulan Januari 1965, Bung Karno mengejek "desasdesus Nekolim" yang mengeluarkan rumors tentang sakitnya. 
Faktanya, gangguan kesehatan Bung Karno tidak dapat disembunyikan lagi. dalam 
suatu pertemuan umum tanggal 05 Agustus 1965, ia diserang sakit yang kemudian 
timbullah desas-desus kuat bahwa ia sedang dalam keadaan gawat. 
Kecemasan perebutan kekuasaan pun akhirnya timbul. Hal lain terjadi adalah ketika 
pada tanggal 30 September 1965, siang hari (beberapa jam sebelum penculikan 
para jenderal-jenderal TNI AD), ditengah-tengah pidatonya, Presiden Soekarno 
terpaksa berhenti. Rupanya disebabkan oleh kurang enak badan. Beberapa menit 
kemudia, ia melanjutkan pidatonya. 


Dan kemudian terjadilah peristiwa tragis itu. Sekelompok orang menyusun sebuah 
rencana - yang masih spekulatif apakah berada dalam sebuah skenario besar atau 
bukan - yang rentetannya sangat panjang. Dini hari 1 Oktober 65, enam jenderal dan 
satu perwira pertama AD menjadi korban kelompok tersebut. Peristiwa ini dengan 
cepat merubah peta politik Indonesia. Pilar kekuasaan Presiden Soekarno, yakni 
golongan kiri (baik yang komunis maupun nasionalis) sama - sama hancur. Ayunan 
pendulum politik bergeser pada AD. Terbunuhnya jenderal-jenderal loyalis terhadap 
Soekarno, semakin memperburuk posisi dan kondisi sang "Founding Father" 
tersebut 
Kendati sangat menyadari bahwa PKI berada di sisi yang tidak menguntungkan dan 
demikian juga dengan AURI, Presiden Soekarno tetap memainkan kartunya (yang 
benar-benar sudah sangat lemah) untuk mempertahankan kekuasaan. Dia tinggal 
memiliki beberapa jenderal AD yang masih dapat dipercaya, serta segelintir politisi 
yang loyal. Namun seberapa jauh ia mampu bertahan ? 






Sebenarnya dulu ada kumpulan surat-surat dari Ir.Soekarno kepada Istrinya Dewi yang bila memang apabila ini real bisa menjadi bukti sejarah apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu karena surat pribadi umumnya akan lebih lugas dan apa adanya. 




Soekarno prihatin sekali dengan situasi pasca G 30 S, ketika terjadi saling bunuh diantara sesama bangsa Indonesia. Soekarno memandang, pembantaian terhadap orang-orang komunis yang dilakukan di seluruh negeri, merupakan sesuatu yang "merusak hasil kerjanya selama duapuluh tahun". 
Kita memang harus melihat sikap Soekarno sebagai sikap seorang negarawan, founding father, yang berobsesi membangun Indonesia yang plural -- bahkan pluralitas ideologi yang digambarkannya dalam konsep (yang kini jadi utopis), yakni NASAKOM. Keprihatinan Soekarno terhadap aksi pembantaian orang-orang komunis, tampaknya dilandaskan pada aspek persatuan bangsa. 




Bulan November 1965, Presiden Soekarno membentuk Factfinding Comission (Komisi Pencari Fakta) untuk menertibkan, membersihkan dan menyelesaikan oknum-oknum sipil yang tersangkut G 30 S. Panitia Presidium -- juga disebut sebagai Panitia III Menteri -- ini beranggotakan Oei Tjoe Tat dari Partindo, Brigjen. Pol. Moedjoko (secara politis dekat dengan Waperdam III Chairul Saleh) dan H. Aminnudin Aziz (seorang tokoh Nadhlatul Ulama). Namun akhirnya Panitia itu gagal total. Sementara situasi politik semakin panas. Demonstrasi terus terjadi. Universitas Res Publica (sekarang menjadi Universitas Trisakti) didemonstrasi, ditembaki dan dibakar massa Soekarno tidak sanggup lagi mempertahankan kekuasaan. Perlahan tapi pasti, dia dilolosi oleh kekuatan baru, yakni aliansi antara AD, mahasiswa, serta masyarakat yang tidak sepaham dengan PKI maupun aliran kiri pada umumnya. 


Ratna Sari Dewi, istri ketiga Bung Karno, bertutur bahwa beberapa hari sebelum 30 September 1965, Presiden Soekarno memanggil Jenderal Yani. 




Bung Karno bertanya, "Saya mendapat informasi tentang Dewan Jenderal yang mau bikin kudeta pada 05 Oktober. Apakah kau tahu?" 


Jenderal Yani menjawab: "Saya tahu. Mereka sudah ada di tangan saya. Bapak enggak usah khawatir." Bung Karno percaya Yani. 




Tetapi nyatanya, Jenderal Yani menjadi salah satu korban penculikan G 30 S. Ketangkasan Mayjen Soeharto meredam aksi G 30 S memancing kecurigaan Dewi. Katanya, "Sepertinya, Soeharto sudah tahu semua, seakan telah direncanakan. Bagaimana dia bisa memecahkan masalah yang terjadi pada malam 30 September dan segera bertindak. Begitu Cepat. Kalau belum tahu rencana G 30 S, ia tak 


mungkin bisa melakukannya." Bagaimana dengan Soekarno ?, apakah dia mengetahui gerakan tersebut ? Menurut Ratna Sari Dewi, "Bapak tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Tanggal 01 Oktober, Bapak masih ada di Jakarta dan saya bisa mengunjungi dia di Halim. Jadi hari itu, Bapak tidak kirim surat. Ini surat tanggal 2 yang dikirim dari Istana Bogor. Isinya, dia baik-baik saja, sedang sibuk menghadiri petemuan dengan para petinggi militer guna menyelesaikan konflik militer. Bapak membantah keterlibatan PKI dan hanya menyebut konflik dua kelompok militer." 

Memang, tanggal 02 Oktober itu Bung Karno mengirimkan surat kepada istri yang konon paling dicintainya itu. Begitulah kebiasaan Bung Karno bila dia tidak sempat berkunjung ke Wisma Yaso, tempat kediaman Ratna Sari Dewi. Aktifitas Bung Karno dalam hari-hari pertama setelah G 30 S meletus, memang tidak banyak. Mobilitasnya sangat terbatas. Pada tanggal 1 pagi di Halim, sorenya ke Istana Bogor, dan tinggal disana untuk beberapa hari sambil memantau situasi. Esoknya, tanggal 3 Oktober, Dewi kembali mendapat surat dari suaminya. Isinya secara detail: surat Soekarno kepada Dewi 





Baca Surat 1 



"Dewi sayangku, saya senang menerima dua pucuk suratmu. Saya senang kamu 
mendengar perkataanku dan terima kasih kamu menaruh perhatian. Pranoto agak 
lemah, tapi hanya dia di Mabes Angkatan Darat yang bisa berhubungan dengan 
pihak kiri dan kanan. Saya menunjuk dia sebagai care-taker Panglima AD untuk 
menangani urusan sehari-hari AD. Komando AD tetap ada di tangan saya. Segera 
sesuatunya tentang kembali, saya akan menunjuk Komandan AD definitif. Saya tidak 
tahu dimana Yani atau apa yang sesungguhnya terjadi dengannya. Segera 
sesuatunya aman, saya akan kembali ke Jakarta. Saya tetap memikirkanmu. Kamu 
tahu betapa cintaku kepadamu.” 

1000 cium, 

Soekarno 


banyak hal penting. Pertama, Soekarno menghendaki AD dipegang orang yang netral, tidak condong ke kanan atau kiri. Keinginan seperti ini sangat logis, apalagi Dari surat tertanggal 03 Oktober 1965 yang dikirim dari Istana Bogor, diketahui Kedua, Soekarno belum mengetahui nasib Yani dan jenderal-jenderal lain yang mengingat jiwa nasionalisme Soekarno yang amat orientasi pada persatuan. barangkali agak kontradiktif dengan dugaan Ulf Sundhaussen bahwa pada tanggal diculik Gerombolan 30 September. Apa yang tertulis dalam surat Soekarno ini, 


03 Oktober, Soekarno sudah mengutus salah seorang perwira Cakrabirawa untuk mengambil jenasah para jenderal. Sebuah surat tertanggal 05 Oktober dikirimkan lagi kepada Dewi. 
Isinya antara lain:


Baca Surat 2 


“Sayangku, Dewi. Hari ini pemakamaan enam jenderal dan satu ajudan jenderal. ... 
Soebandrio dan Leimena tidak mengikutiku menghadiri upacara pemakaman karena 
alasan keamanan. Mereka mengatakan tak ada seorang pun yang yakin apa yang 
terjadi pada suasana upacara yang emosional begitu. Sayangku, perasaanmu benar: 
...... adalah seorang mata-mata. Namanya tertulis didalam daftar orang-orang yang 
kita curigai. Saya memanggil enam jenderal yang lain untuk berbicara dengan 
mereka setelah upacara pemakaman itu: Moersid, Sutardio, Ashari, Dirgo dan Adjie 
dari Bandung. Mereka adalah jenderal-jenderal yang berpengaruh di Angkatan 
Darat. Untuk jenderal-jenderal yang terbunuh, kita tunggu hasil investigasi rahasia 
kita: apakah mereka benar-benar akan melakukan kudeta terhadap saya atau tidak ? 
Informasi bertentangan satu sama lain. Benar, mereka semua 'communistophobie'. 
Tentang Mr. P., saya akan menceritakan kepadamu nanti. Saya tidak dibawah 
pengaruh seorang pun. Jangan khawatir tentang itu. Begitu kondisi mereda, saya 
akan pindah ke Jakarta. Saya sangat rindu kamu, istriku. Oh, cintaku, aku cinta 
kamu. " 


Oh, 1000 cium, 


Soekarno 


Ada yang janggal dari surat ini. Yakni pernyataan Bung Karno sendiri bahwa dia menghadiri acara pemakaman para jenderal yang terbunuh. Menurut banyak sumber, Bung Karno tidak hadir dalam acara tersebut. Sejumlah analis memperkirakan, ketidakhadiran Presiden dalam acara pemakaman para jenderal Pahlawan Revolusi (yang memungkinkan pidato Nasution menjadi headline yang abadi) bernuansa politis. Tindakan itu mencerminkan pandangannya, bahwa G 30 S adalah persoalan intern tentara, khususnya AD. Pernyataan lain dari isi surat Bung Karno kepada Dewi adalah soal Mister P. Siapakah dia ? Betulkan dia mata-mata ? agaknya, hanya Bung Karno dan Dewi sendiri yang tahu tentang hal ini. 
Tanggal 08 Oktober, kembali Soekarno berkirim surat. Isinya antara lain: 


Baca Surat 3 


"Dewi sayangku, jangan salah sangka terhadap saya. Saya tersenyum pada Sidang 
Kabinet untuk menunjukkan kepada dunia bahwa saya aman dan bisa menguasai 
keadaan. (Kamu tahu pers Nekolim mengatakan saya jatuh atau hampir jatuh). Juga 
untuk memberi rakyat keyakinan dan kekuatan. Tahukah kamu bahwa saya 
menyatakan jenderal-jenderal yang terbunuh itu Pahlawan Revolusi dan saya 
menaikkan pangkatnya setingkat lebih tinggi ? Tahukah kamu bahwa saya 
memutuskan untuk memakamkan Irma Suryani (anak perempuan Nasution) di 
Taman Pahlawan ? Hanya lantaran keluarga Nasution memutuskan pemakaman 
begitu marah padaku ? Itu membuatku sedih dan terpisah. Tenanglah, sayang. Saya putrinya di Kebayoran. Saya tidak tahu tentang Nyonya Martono. Mengapa kamu segera ke Jakarta kembali. Saya akan berbicara denganmu. Tenanglah, Dewi. 
Jangan membuat aku terpisah. Aku cinta kamu." 

1000 cium, 

Soekarno 



Seandainya surat-surat Soekarno itu sungguh-sungguh otentik, bisa saja semua itu menjadi bahan kajian sejarah yang sangat penting. Dalam surat-surat yang bersifat pribadi, biasanya tercurah banyak hal tanpa kamuflase. Otentisitas sejarah sebetulnya bisa didapatkan dari sana, tentu seandainya pemilik dokumen pribadi itu tidak berkeberatan surat-surat pribadi itu diuji otentisitasnya. 
Betapa pun pengakuan Dewi Soekarno tentang suaminya di hari-hari beraksinya G 30 S, memberikan nuansa yang lain.

selain itu kita juga dapat mendengar pengakuan bahkan versi versi lainnya menyangkut G30S/PKI seperti : 


Soal Pembunuhan Pasca G30S, NU lebih jujur dari Katolik (Wawancara Radio Netherlands 27.09.2005) 
49 Tahun G30S, Kasusnya Masih Misteri (Wawancara Renesi 27.09.2005) 
Solahudin Wahid: Setelah 40 Tahun Peristiwa G30S Berlalu Bagaimana kita melihatnya 
Solahudin Wahid: Menyikapi G30S 
Solahudin Wahir: PKI dan Rekonsilias 
Baskara T. Wardaya: Tentang Tragedi 1965 
Fairimel A. Gofar: Kapan Peristiwa G30S Diungkap 
Selalu Ingat Kekejaman PKI 
Ilmuwan Ceko Bongkar Konspirasi dibalik Kudeta PKI 1965 
G30S dalam Pelajaran Sekolah 
Upaya Penghancuran Keturunan Yang Tersisa 
Diskusi: "Siapa Dalang G30S" 
Julius Pour: Mengkaji Peranan Bung Karno Pada tanggal 30 September 1965 
Eep Saefullah Fatah: Mencari Dalang Hal Gerakan 30 September ´65 
Buku "Antology ´65 Dan masik banyak lagi kesaksian, versi dan pendapat tentang G30S/PKI, sangat sulit untuk menentukan versi mana yang benar tapi coba baca kumpulan/rangkuman berita ini http://www.wirantaprawira.net/pakorba/bagian_1.pdf untuk mengetahui tentang ini. dan jangan lupa untuk mencari tau referensi referensi baru karena kita tidak dapat menentukan latar belakang terjadinya G30S/PKI dengan satu versi. dan semoga nantinya ini semua akan terkuak kebenarannya

Tak Lupa masalah SUPERSEMAR


Ini adalah bagian terakhir surat Ben Anderson dan Ruth McVey, pakar Indonesianis berbangsa Amerika yang ditujukan kepada New York Times Book Review. Isinya mengkritisi tanggapan pakar lainnya bernama Francis Galbraith yang secara sederhana menarik kesimpulan gampang-gampangan mengenai apa yang terjadi di Indonesia, pada tanggal 1 Oktober 1965. Ben dan Ruth malah menunjukkan fakta-fakta bahwa analisis CIA lebih patut diperhatikan, karena mengandung fakta-fakta 
yang banyak orang kurang memperhatikannya.
Dalam bagian terakhir dari surat Ben dan Ruth, mereka minta perhatian pada kenyataan, bahwa apa yang terjadi di Indonesia sesudah 1 Oktober 1965, setelah dibunuhnya 6 jendral dan seorang perwira menengah, -- adalah p e m b a n t a i a n m a s a l, pembunuhan besar-besaran yang tidak ada taranya dalam sejarah Indonesia. Tetapi yang oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini seperti terlupakan saja. Tak ada yang dimintai pertanggungan-jawabnya mengapa ratusan ribu, bahkan lebih satu juga manusia Indonesia yang tak bersalah, telah dibunuh, tanpa proses pengadilan apapun. 
Sungguh sulit dimengerti, bahwa begitu lama dunia politik, kalangan ilmuwan, khususnya ilmu sejarah di Indonesia bisa bungkam begitu lama mengenai masalah tsb. Kalau ada sesuatu yang teramat serius yang merupakan problim besar dalam hati nurani dan bawah-sadar bangsa ini setelah 60 tahun hidup sebagai bangsa merdeka, ialah k e b u n g k a m a n n y a terhadap pelanggaran HAM terbesar yang terjadi pada dirinya sendiri. 

Surat Ben dan Ruth itu ditulis 27 tahun yang lalu. Problim-problim dan analisis yang mereka ajukan masih tetap relevan. Masih tetap saja belum terjawab. Ada berita gembira bahwa baru-baru ini dinyatakan oleh kalangan yang bersangkutan mengenai arsip negara, bahwa mereka akan mengadakan penelitian dan pelacakan, dimana surat asli yang terkenal dengan nama SUPERSEMAR itu ? Namun, yang lebih penting lagi ialah berusaha mencari kebenaran, mengadakan penelitian dan studi yang mendalam oleh yang bertanggung-jawab, oleh pemerintah, mengenai masalah ini: APA YANG TERJADI DI INDONESIA pada 1 OKTOBER 1965. Demi penulisan sejarah bangsa ini, untuk menjadi pelajaran di masa depan, khususnya bagi generasi baru kita: Adalah tanggung jawaba seluruh masyarakat, terutama penguasa, pemerintah dalam usaha mencari jawaban terhadap masalah tsb; sampai dimana penguasa, aparat, terlibat dan bertanggungjawab atas pelanggaran HAM demikian kolosalnya pada tahun-tahun 1965, 1966 dan 1967? 

Dalam kenyataannya, problim utama Suharto pada tanggal 1 Oktober bukanlah grup yang melakukan kup itu, tetapi Presiden Sukarno., yang menolak klaim Suharto untuk menjadi pemimpin tentara dan sebaliknya mengajukan Pranoto yang lebih dipersacaya - seorang saingan lama Suharto. Namun akhirnya, -- setelah mengepung pangkalan udara dimana Sukarno berlindung, dan setelah ia memberikan hakikatnya suatu ultimatum kepada Presiden Sukarno - Suharto memperoleh apa yang dikehendakinya. Apakah perhatian CIA terhadap semua ini? Barangkali hanya menyerupai suatu keprihatinan historiographis yang keilmiah-ilmiahan. Atau barangkali Lembaga itu (CIA), memiliki koneksi yang lebih erat terbanding pada apa yang disimpulkan oleh analisisnya sebagai yang dikatakan "mungkin terbukti merupakan salah satu peristiwa terpenting pada periode pasca [Perang Dunia II]. Dampak (repercusions) politik dari kup tsb tidak hanya telah mengubah seluruh arah sejarah Indonesia tetapi ia merupakan efek mendalam terhadap cakrawala(scene) politik dunia, khsususnya 


yang menyangkut Asia Tenggara"


Memang, bagi CIA, tampaknya hal itu punya nilai tanpa suatu risiko kecil untuk mengakhiri "menggelundungnya dengan lancar ke Kiri" satu bangsa yang kelima besarnya didunia, khususnya pada saat dimana Amerika Serikat sedang sibuk melakukan perlawanan terhadap kemajuan menyeluruh kaum Komunis di Vietnam. Bila memang begitu, Lembaga itu (CIA) rendah hati sekali mengenai apa yang dicapainya. Tetapi hal itu mungkin bisa dimengerti, karena move itu tidak hanya melibatkan enam orang jendral, tetapi, melibatkan suatu pogrom (pengejaran) yang menyertainya, yang merupaikan salah satu dari pembantaian terbesar dalam zaman kita. 

Sebagaimana disimpulkan oleh analisa CIA: Dalm hal jumlah yang telah dibunuh, pembantaian anti-PKI di Indonesia merupakan salah satu dari pembunuhan masal yang paling buruk pada abad keduapuluh, sama seperti pembersihan yang dilakukan Sovyet dalam tahun 1930-an, pembunuhan masal Nazi selama Perang Dunia II, dan pertumpahan darah Maois pada permulaan tahun 1950-an. Pada tanggapan kedua, kup Indonesia itu pasti merupakan salah satu dari peristiwa yang paling penting di abad keduapuluh, jauh lebih penting terbanding peristiwaperistiwa lainnya yang telah memperoleh banyak publisitas. 

Begitulah yang ditulis oleh CyntaWirantaprawira dalam bukunya Menguak Tabir Peristiwa 01 Oktober 1965 Mencari Keadilan.

dan ada versi dari buku A. Pambudi "Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jendral" th.2006 disebutkan

Konspirasi politik seputar peristiwa Gestapu dan akuisisi pemerintahan yang mengikutinya via Surat Perintah Sebelas Maret hingga kini masih menjadi objek yang diperdebatkan. Sekalangan media pernah berusaha mengungkap misteri di balik peristiwa yang memutar balik haluan politik Indonesia itu, dalam berbagai sudut pandang, asumsi, dan subjektivitasnya masing-masing. Setelah Sukarno File yang menuai perdebatan bahkan gugatan dari keluarga Bung Karno, Supersemar Palsu, Kesaksian Tiga Jenderal adalah tulisan yang dengan kejelian setara mengungkapkan fakta kronologis di balik turunnya perintah Bung Karno kepada Soeharto pasca-peristiwa Gestapu, secara komprehensif.

Ihwal peristiwa, situasi, dan kondisi politik yang melatarbelakangi turunnya Surat Perintah Sebelas Maret hingga kini memang masih merupakan fakta di balik tabir gelap kekuasaan Orde Baru. Ben Anderson misalnya, percaya bahwa Soeharto adalah pihak yang mengambil keuntungan dari ketidakharmonisan hubungan antara kubu Angkatan Darat dengan pemerintahan Bung Karno, dan secara taktis telah merencanakan untuk melakukan kudeta secara “halus”, dimulai sejak peristiwa Gestapu hingga turunnya Supersemar yang kemudian memuluskan jalannya untuk mengambil alih kekuasaan. Asumsi-asumsi pun berkembang seputar peristiwa penandatanganan surat perintah tersebut oleh Bung Karno di Istana Bogor. Beberapa pihak meragukan isi surat perintah tersebut yang dinilai tidak wajar dan seolah-olah dibuat di bawah tekanan. Keberadaan surat perintah yang asli adalah sebuah tanda tanya besar, bahkan keraguan. Benarkah surat perintah yang asli masih ada?

Dalam Supersemar Palsu dimuat tiga versi surat perintah. Dua di antaranya adalah yang disimpan di Sekretariat Negara, dengan perbedaan antara satu dengan lainnya terletak pada tanda tangan Bung Karno. Satu sisanya adalah kopian surat perintah yang disimpan oleh M. Jusuf yang, berbeda dengan dua versi lainnya, terdiri dari dua halaman. Tak ada perbedaan isi yang signifikan di antara tiga versi surat perintah ini. Tetapi sampul buku Supersemar Palsu memuat tagline yang cukup provokatif: Ada tiga versi naskah asli Supersemar. Dua di antaranya pasti palsu, bahkan mungkin ketiganya palsu. Bahkan mungkin ketiganya palsu; sebab Kemal Idris dalam memoarnya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi (1996) menyebutkan kewajiban mengembalikan kekuasaan ke tangan Bung Karno sebagai Presiden RI setelah tugas dilaksanakan, sebuah poin yang tak ada di dalam ketiga versi surat perintah tersebut.

“Saya sempat membaca surat itu, yang memberikan kekuasaan kepada Pak Harto untuk bertindak mengamankan situasi. Setelah tugas dilaksanakan, kekuasaan dikembalikan kepada Bung Karno sebagai Presiden RI. Surat itu dikenal dengan nama Supersemar...” (hal.310)

Kewajiban Letjend Soeharto untuk mengembalikan kewenangan kepada Bung Karno setelah tugas mengamankan situasi negara selesai dilaksanakan ditegaskan pula oleh Subandrio (waktu itu Waperdam I RI) dan A.H Nasution. Kenyataannya, Supersemar ditafsirkan melalui tindakan yang diasumsikan oleh banyak orang “melampaui” kewenangan yang diberikan Bung Karno. Kedudukan hukum Supersemar bahkan diperkuat oleh Soeharto dengan menggiring pengukuhan surat perintah itu menjadi Ketetapan MPRS no. IX/MPRS/1966. Sementara keberadaan Supersemar yang asli telah tak tentu rimbanya sejak diserahkan kepada Letjend Soeharto, 11 Maret 1966, sekira pukul 22.30 WIB di Makostrad.

Selain memuat tiga versi Supersemar yang berhasil terlacak, Supersemar Palsu menuturkan kesaksian tiga jenderal yang berperan dalam penerbitan Supersemar pada waktu itu: Soeharto, M. Jusuf, dan Amirmachmud. Inilah poin penting Supersemar Palsu, di mana penyusun mengkonfrontir kesaksian ketiga pelaku sejarah tersebut, yang dengan perspektif, kepentingan, dan subjektivitas masing-masing menyampaikan kronologi peristiwa seputar Supersemar. Selain kesaksian mereka, dimuat pula wawancara dengan beberapa tokoh di lingkungan Istana, Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang dimuat pada tabloid Detak tahun 1999 dan Majalah D&R tahun 1998, serta memoar beberapa saksi sejarah seperti Kemal Idris dan Mangil (mantan pengawal pribadi Bung Karno). Dari kesemua kesaksian yang dimuat dalam Supersemar Palsu, beberapa fakta detail dalam kronologi peristiwa masih simpang-siur. Tetapi pada hakikatnya, buku ini menunjukkan demikianlah sejarah yang tak pernah lepas dari subjektivitas pelaku dan penuturnya, dan seperti inilah fakta sejarah semestinya dipaparkan secara komprehensif. Seperti ditandaskan oleh penyusunnya, paparan fakta dalam Supersemar Palsu tak akan mengubah sejarah. Tetapi pengungkapan fakta baru akan mengubah penulisan sejarah mengenai Supersemar. Sebuah sisi sejarah yang layak diketahui oleh pewaris bangsa. 

Mari Kita berfikir cerdas dengan memilah dan memilih versi-versi yang beredar dengan membandingkan beberapa sumber. dan jangan jadikan artikel ini patokan karena ini hanya ulasan dari beberapa versi semoga teman-teman dapat menemukan versi yang akurat. 


Semoga Artikel ini dapat membantu. Ungkap Kebenaran Dibalik G 30 September / PK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar